Gak berassa umur gua udah beranjak tua and makin pendek (umurnya
lho..bkn gua). Yah... ini adalah cerita yang diambil dari sedikit
ingatan gua yang udah mulai kehapus karena di makan zaman, oleh karena
itu gua mix aja sesuka udel gua, yang penting jadi cerita dah. Berikut
cerita akibat kegatelan jari-jemari gua ama si keyboard yg malang. Oh
ya, judulnya gua dapet setelah gua selesai nulis ni cerita, so.. gua
nggak ngarti, tp gua bangga aja, krna trnyata gua bs nulis cerpen walau
gak bangettt di mataloe.. pada, hehe.... ape lokate lah, gua sih
asek-asek ajah...
**********
"belajar...belajar... belajar..." gumaman yg selalu saja keluar dari
mulutku ketika bosan dg "belajar", gimana gak bosan coba ??, sekolahku
itu dr subuh ampe sore... hahaaaa gak bisa dibilang ampe sore juga sih,
soalnya menjelang malampun berasa kayak sekolah melulu. "Kassian kalian,
mangkanya susah kan jadi anak kls 3?, udah gak usah ngedumel, sna pergi
belajar!" perintah tetek bengek yg dikeluarkan oleh seorang kakak kelas
yang katanya bijak dan paling pintar di sana.
Dr pagi ampe malem gak ada tuh putus-putusnya ceramah dr guru-guru. Info
aja nih ya... aku bersekolah di pondok, kerennya Boarding School getho
deh. Hidup di sini tuh udah berasa kayak keluarga banget, satu susah
semua susah, tau tuh kalo seneng. Contohnya aku kalo lagi seneng pasti
sembunyi-sembunyi, soalnya kesenagan tu di sana amat sangat langkah (yg
nyontoh dosa lho...).
Menjelang maghrib kita para penghuni pondok ngibrit kocar-kacir menuju
masjid. bukan... gua yakin sebagian besar bukan krn takut ktggln shalat,
azan, ikomah dll (khusus bgi para sanrtiwan/wati), tp takut kena
hukuman. Miris banget kan?, alhasil kami bukannya pergi untuk
menjalankan kewajiban sebagai umat beragama (runyem dah..) melainkan
pergi karena takut dihukum. Untuk seumuran kami sih kalau dipukul itu
sudah biasa, kan udah besar. Toh kata ustadz saya "kalian ini yang akan
menjadi tumpuan bangsa dan agama, jangan cengeng!. Kalian juga harus
diajari menjadi disiplin, kalau bukan sekarang ya... kapan lagi?, selama
ini kalian sudah terlalu lama berleha-leha, khususnya kalian yg sudah
kelas 3. Kalian harus menjadi panutan bagi adik" kalian. Bukannya
seliweran main-main yang tak karuan. ciptakanlah.. walu hanya sedikit
saja hal yang amat berkesan, sebelum kalian lulus...".
Yang dikatakan ustadz tadi tidaklah salah, benar adanya bahwa selama ini
kami terlalu banyak berleha-leha. Dulu belum ada peraturan yang terlalu
ketat, karena ustadz yang menjaga kami tidaklah banyak, kami akui
mereka para ustadz yang mengajar kami sangatlah terkenal hebat yah..
orang besarlah. Tapi bukan berarti kami menyalahkan mereka, seakan-akan
mereka adalah orang tua yang sibuk mencari uang hingga melupakan
anaknya. Mereka bukan orang seperti itu, mereka sosok yang penuh
perhatian dan tanggung jawab, walau mereka terkesan sangat sangar bagi
sebagian santriwan/wati.
Suara kendaraan mereka di tengah malam tidaklah membuat kami terbangun
dari tidur bahkan mimipi yang indah, karena terganggu. Justru kami
terbangun karena merasa khawatir pada mereka. Bahkan mereka masih sempat
silih berganti menjaga kami, di larut malam yang dingin dan diselimuti
kabut (pondokku itu digunung lho, kebayang gak tuh dinginnya?). Walau
pulang sangat larut mereka selalu senantiasa bermunajat pada Allah swt.
(itu yangku salutkan juga..). Jujur, kami bahkan tidak seperti
pondok-pondok biasanya. Kami tidak dipaksakan untuk shalat lail, puasa
sunnah dll. Yah... pada saat itu aku baru masuk kelas I MTs. aku dan
para komplotan teman kls 3ku yg sekarang adalah alumni ke-2. Pondok kami
baru dibangun , jd blum trlalu banyak yang mengenal. Tapi kini aku
sudah kelas 3, aku mengerti betul mengapa mereka para ustadz tidak
memaksakan kami pada saat itu.
Dilihat dri kondisi pondok yang baru dibangun saja, sudah barang pasti
kami menjadi uruing-uringan krna lumayan sepi dan lagi jauh dengan
keluarga tercinta. Kami masih dimanjakan dulu, ya.. setidaknya diberi
waktu untuk beradaptasi dan sampai pada saatnya adrenalin kami pun
dipacu oleh mereka para ustadz. Mereka menyampaikan berbagai motivasi
sebagai anak pondok, mengetes kami dengan kegiatan pondok yang sedikit
mulai dipadatkan, bahkan berani mencalonkan kami dalam berbagai lomba.
Kami dilatih menjadi keras, mereka menunjukkan bahkan mengajarkan kepada
kami kerasnya kehidupan. Suatu saat ustadzku berkata "Hidup ini bagai
hukum rimba nak, yang sanggup bersaing, maka merekalah yang dapat
bertahan hidup. Kalianpun harus sanggup bersaing, sekeras apapun dunia.
Jangan takut!, kalian kira... saya tidak tahu ketika kalian
ditertawakan, dicemooh, bahkan diremehkan oleh org-org diluar?, merka
tidak tahu siapa kita nak, mereka hanya melihat kita dari luar pondok.
itu semua cobaan nak, jika kalian mampu menahannya insyaallah kalian kan
kebal dengan hal seperti itu. Jadi bersainglah nak, tunjukkan
kemammpuan kita anak pondok, gali potensi kalian. Apa gunanya kita
belajar dr trbit matahari sampai terbit kembali bukan?" seketika
pandangan santriwan/wati terbelalak, kasian ustadz, beliau belum tahu
ruapanya bahwa kami sering tertidur saat belajar. Tak lama kemudian
beliau mrnyambung amanatnya yang sempat kandas (yeah...) "ya... setiap
detik itu berharga, oleh karena itu JANGAN SIA-SIAKAN WAKTUMU WALAU
SEDETIKPUN, jika kalian dapat merenungkannya, maka kalian akan mengerti
bahwa setiap detiknya kalian sedang belajar. wassalam".
Amanat dr ustadz tu emang paling ajib dah..., selalu aja bisa nyegerin
suasana, aku yang kelas 3 ini bru bisa mengerti bahwa setiap detik itu
kita sedang belajar. Gini ceritanya saat itu teman sekelasku Ahmad
kelihatan lesu, mungkin dia kurang tidur. Dia menulispun sambil
terkantuk-kantuk, alhasil pulaslah dia di atas mejanya. Semua anak
tertawa, tp lain denganku yang masih sibuk dengan tugas yang entah
dengan hitungan detik akan dikumpul. Tapi hatikupun luluh, dengan tawa
mereka yang sepertinya menggelitik otakku, dan merangsangnya untuk
tertawa saja. Akupun larut dalam suasana tak terduga itu. Kemudian
terdengar suara penaku terjatuh, dibanding suara pena ia lebih mirip
detik jam. Seketika aku memandang jam, dan tanpa pikir panjang
melanjutkan tugasku dengan tergesa-gesa. Bahkan aku sesekali bergumam
"semoga jam itu bisa berhenti sedikit sja atau sedetik sja...".
Tugaskupun selesai walaupun hasilnya kurang sempurna, karena aku
tergesa-gesa pada saat mendekati detik-detik terakhir. Tapi ada satu hal
yg kubanggakan, pada saat detik-detik terakhir itu aku mulai mengerti
bahwa "setiap detikpun kita sedang belajar", ya... dengan setiap detik
itu aku belajar menghargai waktuku. Dan esoknya ustadzku berkata
".........setiap detik itu adalah kesempatan......" di lain waktu beliau
berkata ".......setiap detikpun ada kemungkinan, walau sekecil apapun
itu".
Teman-teman membahas perkataan ustadz 2thn yg lalu sambil tertawa geli
saja. Entah apa yang membuat mereka teringat dengan kata-kata ustadz,
apalagi penyebab ketawanya. Padahal ini bukan April Mop. Tapi aku tahu
apa yang mereka bicarakan, maka akupun menengahi pembicaraan mereka "all
of you know?", "know what?" tanya temanku Arman.Aku menunjukkan jam
dinding pada mereka (maksudku apa mereka mengerti tentang waktu yg
dimaksud ustadz), tanpa pikir panjang ia berteriak dengan angkuhnya, tp
rada-rada bingung "OF COURSE... THAT'S A CLOCK?", seakan Ahmad menanggap
maksud isi hatiku diapun berkata "yeah... klok is skon, rait?"
teman-temankupun menggelakkan tawa berjamaah, bukan krn jawaban Ahmad,
tp krna caranya berbicara yang rada-rada jawa bule. " yes!, en yor skon
is eprriting"
mencoba membuat banyolan yg sma dg logat Ahmad, tp respon mereka rupanya kurang senang.
Mereka kemudian memandangku dengan sinis, seakan mata mereka berkata
"dsr sok pintar!, tau apa kamu?!", "jangan bercanda, apa maksudnya
everything?", tanya temanku Seno tidak percaya, tpi ngotot mau tahu aja.
"Kalian tahu sendiri kan, kadang beliau bilang tiap detik itu belajar,
harapan, dll...., jd itu tergantung dari kita memprioritaskan sesuatu,
seperti org mancing tiap detiknya adalah memancing, krna prioritasnya
adalah memancing. sedetik saja lengah brrti si pemancing telah
menghilangkan detik-detik berharganya dalam memancing, yg tidak mungkin
didapatnya saat memancing di lain waktu. Jadi maksud ustadz, cobalah
kita menghargai hal yang sangat kecil sekalipun, kalian tahu kan?,
no second, no minute, no hour.and
bla..bla...bla....hargailah waktu kalian walau sedetikpun itu, krn
dengan bgitu waktu kalian tidak akan sia-sia, dan insyaallah.. yang
kayak begitu pasti bakalan sukses" dengan tatapan kosong aku
membelakangi mereka dan mulai melangkah pergi, krn aku tak mengharapkan
respon dr mereka, tp itu sebelum Seno mengatakan "Yah... kamu
menjengkelkan, tp trims yah, atas
time is secondnya", stelah ia
mengatakan demikian akupun mulai menyunggingkan senyuman pertanda
terimakasih, tp rupanya Ahmad dan Arman merasa itu merupakan ajakan
berperang, tergambar dari cara mereka merespon senyumanku "dsr sombong,
tau dikit aja udah ngelunjak, awas ya kamu..." singgung Ahmad, "blom
tahu aja kamu kalau aku uadah muter otak, Opa Einstein aja kalah apalagi
kamu.. hahaaa" gurau Arman yg lebih terlihat seperti cercaan.
Kini aku memutuskan untuk memprioritaskan belajar dulu jadi setiap
detikku adalah sedang belajar, dan yang seperti sekarang ini... belajar
bersabar. Dari detik aku belajar menjadi sabar sampai suatu hari aku
akan menjadi seorang penyabar (ed..dah...)
**********************